“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah
Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan mereka tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni
surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka
kerjakan”. ( Q.S. Al-Ahqâf/46: 13-14.)
Ketika Rasulullah
SAW. diminta oleh salah seorang sahabat untuk menjelaskan bagaimana beragama
Islam yang baik, maka dengan kata-kata singkat beliau memerintahkan agar
sahabat itu beriman kepada Allah dan beristiqamah. Dua kata-kata yang singkat
dan mudah diucapkan, îmân dan istiqâmah, tapi mengandung makna yang sangat
dalam yang tidak semua orang dapat melaksanakannya. Jumhur ulama memahami îmân
sebagai suatu sikap yang meliputi keyakinan dalam hati, ucapan lisan, dan
perbuatan oleh seluruh anggota tubuh. Sedangkan istiqâmah dipahami sebagai
teguh pendirian, mempunyai prinsip, dan terus menerus dalam ketaatan
melaksanakan amal saleh.
Dalam diri setiap
muslim pusat keimanan terletak di dalam qalb (hati). Karena sifat hati yang
selalu berubah-ubah, sebagaimana arti kata qalb itu sendiri, maka keimanan yang
berada didalamnya dapat mengalami perubahan-perubahan. Itulah maka iman itu
dapat bertambah dan berkurang. Semakin bersih seorang membersihkan hatinya,
yang oleh Imam al-Ghazali digambarkan sebagai sebuah cermin, maka semakin
bertambah tingkat keimanannya karena cahaya Illahi dapat memantulkan sinar
terang ke dalam dirinya. Tapi bila seorang semakin malas membersihkan cermin
hatinya itu dan membiarkannya dikotori oleh tebalnya debu kemaksiatan, maka
semakin kurang dan menipis keimanan dalam hatinya karena pantulan cahaya Illahi
sudah tidak tampak lagi.
Karena watak hati
yang berubah-rubah sehingga mengakibatkan keimanan dapat bertambah dan
berkurang, maka kita dituntut untuk memelihara hati itu agar selalu
beristiqamah. Yaitu keteguhan hati dalam memegang teguh keimanan, mempunyai
prinsip yang tegas dalam membela kebenaran, dan kecintaan terhadap setiap amal
saleh secara terus menerus dan untuk semua orang. Bukan suatu keimanan sesaat,
membela kebenaran kalau ada kepentingan pribadi atau kelompok, dan hanya
bersikap angin-anginan dalam beramal saleh.
Agar istiqamah itu
dapat tercapai, maka kita harus melatih diri kita secara sungguh-sungguh,
berusaha agar setiap amal perbuatan kita diikuti dengan tiga rangkaian kata
ijtihad, mujahadah, dan jihad. Dengan berijtihad kita dapat memastikan bahwa
tindakan kita adalah suatu pilihan terbaik setelah melalui pertimbangan-pertimbangan
yang mendalam. Tindakan itu harus diikuti dengan mujahadah (upaya yang
sungguh-sungguh) dan terus menerus jangan sampai berhenti di tengah jalan. Dan
tentu saja semuanya harus disertai dengan jihad (suatu perjuangan keras yang
berkesinambungan) yang membutuhkan pengorbanan-pengorbanan dalam berbagai
bentuk, seperti: tenaga, harta, pikiran, bahkan nyawa. Tanpa tiga hal itu,
sulit rasanya istiqamah dapat terwujud dalam kehidupan kita.
Rasanya istiqamah
harus dijadikan sebagai budaya setiap muslim. Kita semestinya sudah bosan
dengan sikap plin-plan yang selalu kita lakukan. Sehari berkata begini,
besoknya berkata begitu. Seminggu berbuat baik selebihnya kemaksiatan
dikerjakan. Hati kita sering luluh dan hanyut ke dalam keindahan dunia,
kenikmatan materi, dan bau harum kekuasaan. Kita sering tidak mampu meneguhkan
hati dan memegang prinsip untuk berkata “tidak” terhadap keserakahan,
kebiadaban, dan kezaliman. Sudah saatnya kita kembali kepada pesan Rasulullah
SAW.: “memperteguh keimanan, kemudian beristiqamah”, dan itu artinya kita telah
melaksanakan petunjuk agama secara benar dan akan mendapatkan balasan
sebagaimana yang telah dijanjikan Allah dalam firman-Nya. Insyâ Allâh. Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar